Minggu, 08 Juni 2008

4. Malam Menakjubkan

Malam Menakjubkan

oleh Benny Rhamdani

“Akhir pekan nanti kita main ke rumah Om Bima ya,” ajak Ayah saat kami sekeluarga makan malam.

“Akhir pekan nanti ada acara ramai di teve malam harinya. Irfan nggak mau melewatkan acara itu,” kataku.

“Nanti di sana kita juga bisa nonton acara teve,” kata Ayah.

Aku akhirnya tidak bisa memberi alasan lain. Sebenarnya aku memang tidak tertarik ikutan ke rumah Om Irfan. Bukan apa-apa. Aku memang belum pernah ke rumah Om Irfan, tapi aku tahu daerah tempat tingal Om Irfan. Jauh di luar kota. Sama sekali tidak menarik.

Aku akan langsung setuju kalau Ayah mengajak kami nonton di bioskop, jalan-jalan ke mal, atau makan-makan di pusat kota. Tapi kalau jalan-jalan ke luar kota, aku kurang suka.

Alasan lainnya, menurutku keluarga Om Bima itu aneh. Baik itu Om Bima, Tante Riani dan Andro, anak Om Bima, sama anehnya. Mereka sangat suka sekali dengan hal-hal yang berbau benda-benda angkasa. Mereka bisa beerjam-jam ngomong soal planet, komet, galaksi, adan lainnya. Benar-benar membosankan. Buat apa membiacarkan benda yang jauh di langit?

Cuma … kalau Ayah mengajak, aku tidak bisa menawar. Acara keluarga akhir pekan harus diikuti semua. Termasuk berkunjung ke rumah Om Bia di luar kota.

Kami berangkat Sabtu sore dengan mobil yang dikendarai Ayah. Aku membawa gameboy yang banyak di tasku. Biar aku tidak merasa bosan nanti. Aku juga membawa komik-komik yang eblum sempat kubaca. Andro yang sebaya denganku juga suka komik. Tapi komiknya lebih banyak tentang benda luar angkasa.

Setelah dua jam perjalanan akhirnya kami sampai di rumah Om Bima. Oh iya, Om Bima bekerja di sebuah perusahaan telekomunikasi. Om Bima bagian mengawasi menara pemancar yang ada di luar kota. Itu sebabnya Om Bima tinggal di luar kota.

Selesai makan malam, kami berkumpul di ruang tengah. Ayah dan Ibu ngobrol dengan Om Bima dan Tante Riani. Aku ngobrol dengan Andro di kamarnya. Kamar yang penuh dengan benda-benda luar angkasa.

“Kamu nggak kesepian tinggal di luar kota yang sepi begini?” tanyaku sambil melihat ke luar jendela. Gelap benar. Hanya tampak langit yang diterangi bintang. Di luar sana memang banyak ditumbuhi pohon-pohon besar.

“Kadang kesepian. Tapi biar nggak eksepian aku banyak melakukan kegiatan. Jadi aku betah di sini. Jika dibandingkan tinggal di kota yang ramai, aku lebih betah di sini. Ya, sesekali saja aku pengin ke kota,” jawab Andro sambil membetulkan letak kacamatanya.

“Tapi tinggal di tempat seperti ini, pasti teman-temanmu tidak menyenangkan? Mereka pasti kebanyakan orang kampong yang bodoh, kotor dan tidak tahu apa-apa,” kataku.

“Tidak juga. Mereka pintar-pintar kok. Apalagi setelah kupinjamkan banyak buku. Mereka itu tidak banyak tahu karena sulit mendapat buku yang bagus di sini. Makanya aku sering meminjamkan mereka. Beberapa dari teman sekelasku sering main ke sini,” kata Andro.

Aku jadi tidak enak dengan pembicaraan ini. Sepertinya pembicaraan ini jadi tidak menyenangkan. Aku bingung mau apalagi. Inilah yang akhirnya membuatku sdikit bosan.



Tiba-tiba Ayah masuk ke kamar. “Ayo kita ke luar. Om Bima mengajak melihat bintang dan meteor,” kata ayah kemudian.

Andro tampak bersemangat mengajakku. Uh, apa sih asyiknya melihat bintang dan meteor?

Karna aku tidak mau emngecewakan ayah dan Ibu, aku pura-pura bersemangat seperti Andro. Lalu kami pergi ke luar rumah. Om Bimo tampak membawa peralatannya. Lalu kami berjalan menuju pncak sebuah bukit kecil.

“Kita akan berekreasi ke luar angkasa,” kata Om Bima sambil memasang alat peneropong bintang milknya.

Aku menatap langit. Langit yang bersih dan dipenuhi bintang. Langit yang berbeda dengan langit di kota. Heran, mengapa di sini bintang-bintang itu tampak sangat jelas ya?

“Lihat, itu rasi bintang Taurus. Nah itu Pisces!” tunjuk Andro.

Aku tidak mengerti maksud Andro. Tante Riani lalu menjelaskan perlahan. Kata tante Riani, di langit ada bintang-bintang yang berkelompok yang sering disebut gugusan bintang. Nah, gugusan itu sering menyerupai titik sebuah gambar. Misalnya saja ikan, kerbau atau kalajengking.

Hm, aku lalu memperhatikan ke langit. Benar juga.

“Pakai teleskop ini,” kata Om Bima.

Aku mengikuti. Ternyata bentuk-bentuk bintang itu jadi lebih jelas. Aku juga mulai melihat ada perbedaan antara bintang yang satu dan yang lain.

“Yang itu bukan bintang tapi Planet mars. Makannya warnamya berbeda,’ kata Andro memberitahuku.

Oh, kukira semua yang kulihat adalah bintang! Ternyata Planet juga bisa kulihat. Ug, betapa bodohnya aku.

“Nah, itu lihat! Ada meteor!” seru Tante Riani.

Wow! Aku melihat sebuah benda angkasa yang melesat di langit. Tapi kemduian benda itu menghilang.

Om Bima lalu menjlaskan padaku tentang meteor atau bintang jatuh itu. Om Bima juga menejlaskan padaku tentang susunan plaet, dan istilah angkasa luar lainnya. Lama-lama kok aku jadi tertarik dengan yang dijelaskan itu semua.

Oh iya, aku jadi menikmati acara liburanku malam ini. Benar-benar akhir pekan yang menakjubkan. Bahkan setelah puas berada di luar rumah mengamati benda luar angkasa, aku jadi ingin membaca pengetahuan lainnya lewat buku-buku koleksi Andro.

“Kamu bawa pulang saja kalau ingin mebacanya. Bukunya tebal-tebal,” kata Andro.

Aku mengangguk. Tiba-tiba aku ingin menanyakan sesuatu pada Andro.

“Menurutmu, apakah mahkluk angkasa luar atau alien itu ada?” tanyaku.

Andro terdiam. Lalu tiba-tiba kulihat sesuatu yang ebrubah di mukanya. Matanya melebar, mulutnya juga. Hidungnya berubah panjang. Mengapa Andro jadi berubah menegrikan? Dia jadi seperti Alien?

“Tidak! Tolong! Tidak!”

“Irfan bangun! Kamu kenapa?”

Aku kaget dan membuka mataku? Di depanku, andro masih dengan muka seperti biasanya.

“Kamu pasti bermimpi ya? Pasti gara-gara baca buku ini,” tunjuk Andro sambil menunjuk buku tentang Alien.

Oh, aku jadi malu. Ya aku ternyata bermimpi. Memalukan!

***

3. Asyiknya Memancing

Asyiknya Memancing!

Oleh Benny Rhamdani

Sudah sering aku melihat Ayah pergi membawa perlengkapan memancing di hari Minggu. Pernah suatu hari Ayah mengajakku ikut, tapi aku menolaknya.

"Aku ada janji dengan teman-teman mengerjakan tugas prakarya," kataku memberi alasan. Sebenarnya, aku memang tidak tertarik memancing. Apa asyiknya memancing sih?

"Memancing itu kegiatan yang bisa melatih kesabaran kita. Juga kejelian kita," kata Ayah menjelaskan.

Wah, buat apa melatih kesabaran dan kejelian lewat memancing? Aku tidak mengerti maksud Ayah itu. Tapi aku tidak mau memprotes hobi Ayah itu. Apalagi Ayah tidak setiap hari Minggu pergi memancing. Paling-paling sebulan dua kali. Satu-satunya yang menyenangkan dari hobi memancing Ayah adalah ikan yang dibawa pulang.

Tapi hari Minggu ini, entah mengapa aku tiba-tiba saja tertarik untuk ikut Ayah pergi memancing. Semalam aku melihat film di televisi tentang pengetahuan memancing ikan. Wah, sepertinya seru juga ya. Apalagi kalau berhasil mendapat ikan berukuran besar.

Ayah senang mengetahui aku ingin ikut memancing. Ibu langsung menyiapkan perlengkapan memancing dan bekal tambahan. Sekitar pukul sembilan pagi, aku membonceng di belakang motor Ayah pergi ke arah selatan.

Tadinya aku pikir ayah akan mengajakku memancing di klam-kolam pemancingan. Api Ayah malah berhenti di dekat sebuah aliran sungai.

"Kita memancing di dekat bongklahan batu itu. Tempatnya sejuk sebelum jam dua belas siang," kata Ayah sambil menurunkan perlengkapan kami.

Aku menurut saja. Kupikir, kami akan langsung memancing di sungai itu. Tapi Ayah malah mengajakku mencari ulat daun pisang.

"Kita perlu upan yang disukai ikan-ikan di sungai," kata Ayah menjelaskan.

Aku mengangguk saja. Semula aku geli melihat bentuk ulat daun pisang itu. Kupikir bisa membutaku gatal seperti ulat bulu. Ternyata itu bukan jenis ulat bulu. Ayah baik-baik saja meski memegangnya.

Setelah cukup mendapat umpan, kami meniapkan peralatan memancing. Ayah memegang kail kesayangannya. Aku juga memegang satu.

"Mari Ayah ajarkan dulu caranya," kata Ayah.

Ayah memberitahuku cara emasang umpan di kail, melempar kail ke sungai, juga menarik kail.

"Yang paling penting adalah kita sabar," kata Ayah.

Hmm, sepertinya mudah. Ya, mudah-mudahan saja aku bsia segera mengail seekor ikan besar.

Plung! Aku melempar kailku tepat di tengah sungai.

"Lemparan yang lumayan bagus!" puji Ayah sambil melakukan hal yang sama.

Kami kemudian menancapkan kail. Kami tidak memegangnya. Lalu, Ayah mengajakku sedikit mundur.

"Kita duduk di sana. Ikan-ikan di sini peka sekali," kata Ayah.

Kami duduk di ebuah batu besar di bawah lindungan pohon teduh.

"Dulu tempat ini banyak sekali ikannya. Ayah sangat suka memancing di sini. Tapi lama ke lamaan ikannya berkurang," kata Ayah.

"Dipancing terus ya, Yah?" tanyaku.

"Bukan itu. Tapi airnya berkurang dan tercemar di bagian hilir dan sedikit di hulu," jelas Ayah.

"Tercemar kenapa?" tanyaku.

"Limbah. Sampah yang dibuang ke sungai, terus ada juga limbah pabrik kayu di dekat sungai, dan limbah-limbah lainnya."

"Wah, sayang sekali."

"Iya. Padahal selain ikan, manusia juga memerlukan air sungai ini untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Mulai dari minum, menuci, mandi, dan sebaginya. Tapi kita sendiri yang mengotorinya," tambah Ayah.

"Kalai begitu, ikan di sini mengandung taun ya, Yah? Tidak bisa kita makan?" tanyaku.

"Untungnya memang belum sampai ada limbah beracun. Jadi tenang saja. Ikan-ikan ini masih bisa dimakan. Tapi kalau semua orang membiarkan sungai kita dicemari, lama-lama nggak mungkin limbah beracun pun masuk," kata Ayah.

Aku merinding mendengar keterangan Ayah. Yang aku tahu, sungai ini juga mengalir ke sungai Musi. Nah, kalu sungai ini beracun, berarti sungai Musi juga bisa tercemar racun. Padahal sungai Musi adalah kebanggaan kami.

"Ssst, umpannya ada yang makan," Ayah berbisik sambil menunjuk alat pancingku. "Biarkan dulu."

Aku menunggu beberapa detik dengan tak sabar. Ketika Ayah memberi kode agar aku menarik kailku, maka aku buru-buru menariknya. "Waaaaaah! Kena!" teraikku.

Aku menangkap ikan itu. Tapi ukurannya tdak sebsar yang kuingankan. Mungkin ini malah anak ikan.

"Dilepas lagi saja. Ikannya masih kecil," kata Ayah.

"Jangan, Ayah. Nanti ikannya akan bilang sama teman-temannya bahwa kita lagi mengail di sini," kataku.

Ayah tertawa. "Tentu saja tidak akan terjadi begitu. Ayo, lepaskan saja. Biar nanti kalau besar baru kita pancing lagi."

Aku pun melepaskan ikan itu ke sungai walau berat hati. Ayah mebantuku memasang umpan. Lima menit kemudian kail Ayah yang ditarik ikan. Sebuah ikan yang besar. Aku senang melihat Ayah mendapatkannya, walau aku sedikit iri.

Baru satu jam kemudian umpanku dimakan ikan. Kali ini berukuran sedang. Ayah tidak memintaku melepasnya. Kail Ayah mendapat giliran lima belas menit kemudian. Lalu kailku agak lama. Uhh, benar-benar harus bersabar untuk menjai pemncing yang baik seperti Ayah.

Tengah hari kami membuka bekal kami lalu menghabiskannya. Kami juga sholat berjamaah di alam terbuka. Begitu menyenangkan.

Pukul tiga kami pulang. Ikan tangkapan kami lumayan banyak. Di perjalanan pulang Ayah sempat berhenti di depan sebuah rumah gubuk. Kamu turun dan masuk ke ruah gubuk itu. Seorang lelaki tua menyambut kami.

"Pak Amat, ini anak saya yang sering saya ceritakan. Kami baru saja memancing. Sebagian ikannya biar disimpan di sini saja," kata Ayah kemudian.

Tak lama kemudian kami melanjutkan pulang. Aku baru tahu kalau ternyata Pak Amat adalah bekas petugas penjaga hutan lindung. Walau besar jasanya, hidupnya ternyata tak beruntung. Itu sebabnya Ayah memberikan sebagian ikan kami untuk Pak Amat.

Sampai di rumah aku menceritakan pengalamanku hari ini. Aku berjanji akan menuliskannya sebagai cerita di koran kesayanganku. Ya, agar teamn-temanku suka memancing dan mau menjaga kelestarian sungai.

^-^

2. Bu Bertha

Bu Bertha



Oleh Benny Rhamdani



Mestinya sore yang cerah ini aku berada di taman. Ya, bermain dengan teman-temanku. Entah itu bermain sepeda, bermain kejar-kejaran atau malah bermain sepak bola dengan anak lelaki.

Uuuh! Tapi itu tidak mungkin aku lakukan. Aku hanya bisa berada di rumah. Tidak peduli hari hujan maupun cerah. Ya, aku harus tetap duduk di atas kursi rodaku. Semua ini harus kulakukan sejak seminggu yang lalu. Setelah kecelakaan mobil itu.

“Intan, di luar hari cerah. Tidak mau bermain …”

“Tidak, Ma,” aku memotong kalimat Mama. Buat apa aku keluar? Untuk melihat tatapan kasihan teman-temanku? Untuk melihat senyum mengejek musuh-musuhku?

“Kamu tidak bisa terus menerus di rumah begini. Sekolah pun kamu tidak mau masuk lagi. Keluar rumah juga tidak mau,” kata Mama.

“Mama sih enak. Coba kalau Mama kayak aku …” Aku terdiam sebentar. Kulihat Mama meneteskan air matanya meski sudah berusaha keras menahannya.

Saat kecelakaan itu, aku memang sedang naik mobil yang disopiri Mama. Kami baru pergi belanja. Di perjalanan tahu-tahu ada mobil neyelonong dari arah yang berlawanan. Mama langsung membanting stir. Mobil kami keluar jalur lalu menabrak pohon. Aku pingsan entah berapa lama. Saat sadar aku baru tahu kakiku hilang satu.

Tentu saja aku sedih. Aku juga bingung. Aku jadi menyalahkan semua orang. Menyalahkan mobil yang menabrak. Menyalahkan Mama yang mengajakku belanja. Ah, semestinya aku tidak boleh menyalahkan Mama. Tentu saja tidak ada seorang ibupuin yang mau anaknya cacat.

“Maafkan Intan, ma. Intan tidak bermaksud membuat Mama sedih,” kataku kemudian.

Mama mendekap kepalaku. “Mama juga minta maaf,” kata Mama entah untuk keberapa kalinya.

Mama pun tidak menanyakan lagi kenapa aku tidak mau keluar rumah atau tidak mau ke sekolah. Ya, aku memang tidak mau masuk sekolah lagi dengan keadaan kakiku ini. Apa yang bisa aku lakukan di sekolah bila harus duduk di kursi roda begini?

Ting-tong-ting-tong ….

Bel rumah berbunyi. Mama meninggalkan aku. Tak lama kemudian Mama kembali ke kamar menemuiku.

“Teman-temanmu mau bertemu …”

“Aku tidak mau bertemu mereka, Ma,” kataku.

“Kaihan mereka. Setiap hari mereka bertamu agar bisa bertemu denganmu,” bujuk Mama.

“Tidak, Ma. Aku tidak mau bertemu dengan mereka.”

Aku menarik nafas lega dan membiarkan diriku terkurung di kamarku.

Dua hari kemudian aku kembali ke rumah sakit untuk kontrol kesehatanku. Karena kesal menunggu giliran masuk, aku menjalankan kursi rodaku. Mama memintaku agar berhati-hati. Tapi sama sekali tidak melarangku jalan-jalan mengitari lorong rumah sakit.

Sampai akhirnya aku melihat sebuah ruangan yang terbuka. Aku melihat ada beberapa anak sedang duduk mengitari seorang wanita yang tengah memegang buku. Sepertinya wanita itu tengah mendongeng. Kudengar darei ucapannya. Dan sepertinya dongengnya itu menarik. Soalnya, anak-anak di sekelilingnya tampak mendengarkan dengan tekun.

“Silakan masuk. Jangan di pintu saja,” kata wanita itu. “Namaku Bu Bertha. Siapa namamu?”

“Aku Intan, Bu.” Aku kemudian masuk ke ruangan itu.

Bu Bertha melanjutkan dongengnya. Rupanya Bu Bertha tengah mendongeng kisah puteri berambut panjang Rapunzel. Ya, aku juga suka cerita itu.

“Nah, sekian dulu cerita hari ini. Kalian kembali ke tempat tidur dan kamar masing-masing. Besok sore Ibu akan datang lagi bercerita dengan kalian,” kata Bu Bertha sambil menutup bukunya.

Terdengar suara anak-anak yang kecewa. Aku tidak tahu siapa anak-anak sebayaku ini. Apakah mereka pasien ataukah keluarga pasien? Seperyinya pasien juga seperti aku.

Bu Bertha berdiri. Dia mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya. Wow! Ternyata itu tongkat lipat. Dan … Oh! Bu Bertha menggunakan tongkat itu untuk berjalan. Rupanya Bu Bertha tidak bisa melihat.

“Hai, kamu anak baru? Namaku Iren. Kamu baru pertama melihat Bu Bertha ya?” tanya seorang anak perempuan.

“Ya, aku baru pertama ke ruangan ini.”

“Ini ruangan untuk bercerita. Banyak pasien yang senang mendengar dongeng Bu Bertha. Bahkan ketika kami keluar dari rumah sakit ini, kami sering datang ke sini untuk mendengar dongengnya,” kata anak perempuan itu. Dia kemudian berdiri dan berjalan Oh rupanya dia menggunakan kaki palsu.

“Bu Bertha selalu ceria dan bisa menyenagkan orang lain meskipun tidak bisa melihat. Hal itulah yang membuat aku semangat. Aku jadi lebih percaya diri. Semula aku minder karena tidak dapat melihat, tapi sejak mendengar dongeng-dongengnya aku jadi semangat lagi,” kata seorang anak sambil mengeluarkan tongkat seperti milik Bu Bertha.

Anak lainnya ternyata juga cacat. Mereka meninggalkan ruangan dengan ceria. Tinggal aku sendirian. Ya, seharusnya aku bisa semngat lagi. Tidak terus bersedih. Meski cacat aku harus bisa hidup bahagia dan menyenangkan orang lain.

“Intan … Intan!”

Aku mendengar suara panggilan Mama. Aku segera memutar kursi rodaku menghadap ke pintu. Kulihat Mama di pintu. Mama berdiri cukup lama di sana. Lama sekali sampai aku heran.

“Kenapa, Ma?” tanyaku.

“Mama senang kamu sudah mau tersenyum. Rasanya sudah lama Mama tidak melihat kamu tersnyum ….”

“Ah, Mama.” Aku jadi malu.

Ya, mulai saat ini aku berjanji akan selalu tersenyum menghadapi hari-hariku. Aku akan belajar membuang perasaan sedihku. Aku akan bermain kembali dengan teman-temanku, bersekolah dan tentu saja menerima keadaanku apa adanya.

^-^

1. Nonton Barongsai

Nonton Barongsai

Oleh Benny Rhamdani



Mama dan papa mengajak aku dan Dion ke mal sore ini. Kata Papa, di mal akan ada atraksi barongsai. Waduh, setahun yang lalu aku melihat atraksi barngsai itu. Keren sekali! Tapi adikku waktu itu tidak ikut karena sedang kurang sehat. Lagipula umurnya waktu itu masih tiga tahun.

“Nanti kalau diajak malah takut,” kata papa.

Kalau sekarang Dion sudah empat tahun. Sudah bisa dijelaskan kalau takut sesuatu hal.

“Ini dia barongsai!” aku menunjukkan Dion gambar-gambar barngsai di koran kesayngan ayah Berita Pagi.

“Bagus. Mau lihat balongsai,” kata Dion yang masih cadel mengucapkan huruf ‘r’.

Rasanya tidak sabar menunggu sore tiba. Sempat sedikit khawatir juga karena di kompleks rumahku tadi turun hujan walaupun sebentar.

Pukul tiga kami semua berangkat ke mal. Wah, susana mal sangat ramai sekali. Hiasan di mal berbeda dengan yang kulihat ketika datang ke sini bersama Mama sebulan lalu. Hehehem aku Mama memang jarang mengajak aku ke mal. Kami sekeluarga lebih suka main ke toko buku atau berekreasi di alam terbuka.

Langit-langit mal dihiasi lampion, juga aneka hiasan berwarna merah. Beginilah suasana kalau tahun baru imlek tiba. Aku sendiri tidak tahu banyak tentang tahun baru imlek. Tapi di kelasku ada beberapa teman yang merayakannya, seperti Robert, Shirley dam Loyd.

Robert bercerita kalau tahun baru imlek tiba dia akan mendapat angpau, yakni amplop berisi uang. Loyd bercerita tentang pohon angpau di rumahnya yang boleh dipetik oleh tamu yang datang. Sementara Shirley vercerita tentang makanan. Hihihi, dia memang suka makan.

“Ada dodol, nastar, kue keranjang, wah … pokoknya banyak!”: begitu kata Shirley saat bercerita di kelas.

“Mana barongsainya?” Dion tiba-tiba berteriak tak sabar.

Mama dan Papa berusaha menenangkan Dion. Kami berjalan-jalan dulu mengitari mal. Kami kemudian mampir ke restoran bakmi dan memesan tiga kwe tiauw. Dion tak mau memesan apa-apa. Dia sudah tak sabar ingin melihat barongsai.

“Nggak ah. Dion nggak mau apa-apa. Dion mau lihat balongsai,” teriak Dion.

Beberapa orang di sekitar kami tertawa melihat tingkah Dion. Tapi karena haus, Dion mau memesan minuman. Ketika Papa membayar makanan yang kami habiskan, tiba-tiba terdengar suara riuh.

“Balongsai!” teriak Dion sambil menarik lengan Papa.

Kami segera ke ruang lapang dekat lobi mall. Suara tabuhan pengiring atraksi barongsai berbunyi memanggil para pengunjung mall untuk berkumpul. Papa menuntun kami lebih mendekat. Tak lama kemudian beberapa orang beraksi seperti di film kunfu. Lalu … barongsai itu datang!

Para pengunjung betepuk tangan. Barongsai itu beraksi. Aku melihat Dion terpana melihat barongsai. Sambil beraksi, barongsai itu menarahkan kepalanya ke pengunjung. Ada beberapa pengunjung yang melemparkan uang kertas ke mulutnya.

Lalu tiba-tiba barongsai itu menuju kami. Matanya berkedip-kedip lucu. Namun tiba-tiba saja Dion menjerit keras. Dia ketakutan melihat kepala itu mendekatinya.

“Huaaaaaa!” teriaknya nyaring.

Papa langsung berusaha menenangkannya. Tapi Dion tak kunjung berhenti. Akhirnya Papa mengajak kami menjauh dari tempat atraksi barongsai. Aduh, padahal aku amsih ingin melihat atraksi barongsai.

“Kenapa nangis? Barongsai kan tidak menggigit,” jelasku agar Dion berhenti menangis.

“Iya … Dion tahu,” jawabnya.

“Terus kenapa menangis? Kenapa takut?” tanyaku.

“Bukan takut. Tapi … tadi kaki Dion diinjak Kak Aya.”

Hah? Aku menginjak kaki Dion. Aduh pasti aku tidak sadar melakukannya tadi. “Maafkan Kak Aya kalau begitu,” kataku karena malu.

Papa melihat kaki Dion. Wah, ternyata merah! Aku jadi serbasalah.

“Makanya kalo lagi asyik, lihat-lihat dulu kaki olang!” Dion mengomel.

“Maaf … “ Aku terus meminta maaf untuk kesekian kalinya. Kau berharap Dion segera memaafkan aku, lalu kami menykasikan kembali atraksi barngsai. Aku berjanji tidak akan menginjak kaki siapapun nanti. Terutama kaki Dion! Hehehehe.

***