Minggu, 08 Juni 2008

3. Asyiknya Memancing

Asyiknya Memancing!

Oleh Benny Rhamdani

Sudah sering aku melihat Ayah pergi membawa perlengkapan memancing di hari Minggu. Pernah suatu hari Ayah mengajakku ikut, tapi aku menolaknya.

"Aku ada janji dengan teman-teman mengerjakan tugas prakarya," kataku memberi alasan. Sebenarnya, aku memang tidak tertarik memancing. Apa asyiknya memancing sih?

"Memancing itu kegiatan yang bisa melatih kesabaran kita. Juga kejelian kita," kata Ayah menjelaskan.

Wah, buat apa melatih kesabaran dan kejelian lewat memancing? Aku tidak mengerti maksud Ayah itu. Tapi aku tidak mau memprotes hobi Ayah itu. Apalagi Ayah tidak setiap hari Minggu pergi memancing. Paling-paling sebulan dua kali. Satu-satunya yang menyenangkan dari hobi memancing Ayah adalah ikan yang dibawa pulang.

Tapi hari Minggu ini, entah mengapa aku tiba-tiba saja tertarik untuk ikut Ayah pergi memancing. Semalam aku melihat film di televisi tentang pengetahuan memancing ikan. Wah, sepertinya seru juga ya. Apalagi kalau berhasil mendapat ikan berukuran besar.

Ayah senang mengetahui aku ingin ikut memancing. Ibu langsung menyiapkan perlengkapan memancing dan bekal tambahan. Sekitar pukul sembilan pagi, aku membonceng di belakang motor Ayah pergi ke arah selatan.

Tadinya aku pikir ayah akan mengajakku memancing di klam-kolam pemancingan. Api Ayah malah berhenti di dekat sebuah aliran sungai.

"Kita memancing di dekat bongklahan batu itu. Tempatnya sejuk sebelum jam dua belas siang," kata Ayah sambil menurunkan perlengkapan kami.

Aku menurut saja. Kupikir, kami akan langsung memancing di sungai itu. Tapi Ayah malah mengajakku mencari ulat daun pisang.

"Kita perlu upan yang disukai ikan-ikan di sungai," kata Ayah menjelaskan.

Aku mengangguk saja. Semula aku geli melihat bentuk ulat daun pisang itu. Kupikir bisa membutaku gatal seperti ulat bulu. Ternyata itu bukan jenis ulat bulu. Ayah baik-baik saja meski memegangnya.

Setelah cukup mendapat umpan, kami meniapkan peralatan memancing. Ayah memegang kail kesayangannya. Aku juga memegang satu.

"Mari Ayah ajarkan dulu caranya," kata Ayah.

Ayah memberitahuku cara emasang umpan di kail, melempar kail ke sungai, juga menarik kail.

"Yang paling penting adalah kita sabar," kata Ayah.

Hmm, sepertinya mudah. Ya, mudah-mudahan saja aku bsia segera mengail seekor ikan besar.

Plung! Aku melempar kailku tepat di tengah sungai.

"Lemparan yang lumayan bagus!" puji Ayah sambil melakukan hal yang sama.

Kami kemudian menancapkan kail. Kami tidak memegangnya. Lalu, Ayah mengajakku sedikit mundur.

"Kita duduk di sana. Ikan-ikan di sini peka sekali," kata Ayah.

Kami duduk di ebuah batu besar di bawah lindungan pohon teduh.

"Dulu tempat ini banyak sekali ikannya. Ayah sangat suka memancing di sini. Tapi lama ke lamaan ikannya berkurang," kata Ayah.

"Dipancing terus ya, Yah?" tanyaku.

"Bukan itu. Tapi airnya berkurang dan tercemar di bagian hilir dan sedikit di hulu," jelas Ayah.

"Tercemar kenapa?" tanyaku.

"Limbah. Sampah yang dibuang ke sungai, terus ada juga limbah pabrik kayu di dekat sungai, dan limbah-limbah lainnya."

"Wah, sayang sekali."

"Iya. Padahal selain ikan, manusia juga memerlukan air sungai ini untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Mulai dari minum, menuci, mandi, dan sebaginya. Tapi kita sendiri yang mengotorinya," tambah Ayah.

"Kalai begitu, ikan di sini mengandung taun ya, Yah? Tidak bisa kita makan?" tanyaku.

"Untungnya memang belum sampai ada limbah beracun. Jadi tenang saja. Ikan-ikan ini masih bisa dimakan. Tapi kalau semua orang membiarkan sungai kita dicemari, lama-lama nggak mungkin limbah beracun pun masuk," kata Ayah.

Aku merinding mendengar keterangan Ayah. Yang aku tahu, sungai ini juga mengalir ke sungai Musi. Nah, kalu sungai ini beracun, berarti sungai Musi juga bisa tercemar racun. Padahal sungai Musi adalah kebanggaan kami.

"Ssst, umpannya ada yang makan," Ayah berbisik sambil menunjuk alat pancingku. "Biarkan dulu."

Aku menunggu beberapa detik dengan tak sabar. Ketika Ayah memberi kode agar aku menarik kailku, maka aku buru-buru menariknya. "Waaaaaah! Kena!" teraikku.

Aku menangkap ikan itu. Tapi ukurannya tdak sebsar yang kuingankan. Mungkin ini malah anak ikan.

"Dilepas lagi saja. Ikannya masih kecil," kata Ayah.

"Jangan, Ayah. Nanti ikannya akan bilang sama teman-temannya bahwa kita lagi mengail di sini," kataku.

Ayah tertawa. "Tentu saja tidak akan terjadi begitu. Ayo, lepaskan saja. Biar nanti kalau besar baru kita pancing lagi."

Aku pun melepaskan ikan itu ke sungai walau berat hati. Ayah mebantuku memasang umpan. Lima menit kemudian kail Ayah yang ditarik ikan. Sebuah ikan yang besar. Aku senang melihat Ayah mendapatkannya, walau aku sedikit iri.

Baru satu jam kemudian umpanku dimakan ikan. Kali ini berukuran sedang. Ayah tidak memintaku melepasnya. Kail Ayah mendapat giliran lima belas menit kemudian. Lalu kailku agak lama. Uhh, benar-benar harus bersabar untuk menjai pemncing yang baik seperti Ayah.

Tengah hari kami membuka bekal kami lalu menghabiskannya. Kami juga sholat berjamaah di alam terbuka. Begitu menyenangkan.

Pukul tiga kami pulang. Ikan tangkapan kami lumayan banyak. Di perjalanan pulang Ayah sempat berhenti di depan sebuah rumah gubuk. Kamu turun dan masuk ke ruah gubuk itu. Seorang lelaki tua menyambut kami.

"Pak Amat, ini anak saya yang sering saya ceritakan. Kami baru saja memancing. Sebagian ikannya biar disimpan di sini saja," kata Ayah kemudian.

Tak lama kemudian kami melanjutkan pulang. Aku baru tahu kalau ternyata Pak Amat adalah bekas petugas penjaga hutan lindung. Walau besar jasanya, hidupnya ternyata tak beruntung. Itu sebabnya Ayah memberikan sebagian ikan kami untuk Pak Amat.

Sampai di rumah aku menceritakan pengalamanku hari ini. Aku berjanji akan menuliskannya sebagai cerita di koran kesayanganku. Ya, agar teamn-temanku suka memancing dan mau menjaga kelestarian sungai.

^-^

Tidak ada komentar: